Minggu, 26 Desember 2010

AWAN KELABU DI PAGI BUTA

AWAN KELABU DI PAGI BUTA
Oleh: Zain Kubro

Sudahlah buuu, aku ini sudah dewasa!, gak perlu diurus-urus lagi!, bentak ku pada ibu yang sedari tadi bertanya dari mana saja aku semalam?, kok datangnya dinihari?. Braak!!, kubanting pintu kamarku sambil lalu pergi meninggalkan ibuku yang menangis terpaku di kamarku. Aku pergi ngeluyur begitu saja tanpa menghiraukan kebaradaan ibuku yang memang selalu menanyakan segala sesuatu yang kulakukan, tapi aku sudah jengah dengan perlakuan yang seperti itu, benar saja sekarang umurku sudah 21 tahun aku sudah duduk di semester 8 jurusan ekonomi di sebuah Universitas swasta, wajarlah kalau aku tak ingin diperlakukan seperti anak kecil lagi. Kuambil kunci mobilku dan ku arahkan kesebuah café di Jl. Sudirman 45, tempat dimana aku biasa kongkow-kongkow barsama teman-temanku, genkster begitulah kelompokku biasa menamakan diri, disana sudah menunggu beberapa teman dari genkku ini, yang ku suka dari mereka, mereka selalu menemaniku dalam cita dan duka, gokil, have fun, dan paling seru gila-gilaan abiz.
Sesampainya aku dicafe kulihat Cynes,Boy,John dan Erix sedang santai duduk di meja paling tengah dan masih ada satu kursi yang masih kosong, boy melambaikan tangannya padaku, aku yang memang sejak tadi memperhatikan meraka langsung ikut nimbrung, halo bro sapa Cynes , baik jawabku, aku duduk disebelah John, kupanggil salah seorang pramusaji yang memang selalu stand by, satu kopi susu mbak! Agak pahit, seperti biasa. Pagi-pagi kok manyun? tanya john padaku, belum aku mengucapkan sepatah kata untuk menjawab, erix sudah nyerocos duluan,
biasa!!” paling juga diurusin ibunya, kan anak iiiibuuu”,
aku yang seharusnya marah karena diejek malah tersenyum melihat bibir erix memanjang lima centi, yah! Begitulah ibuku tak pernah bisa mengerti aku, gerutuku pelan pada sahabat-sahabatku, santai aja bro,
“hidup tu sudah susah jangan diambil susah”, cynes berfilsafat. Tanpa terasa waktu didinding café sudah menunjukkan jam 11.30,’’aku harus break dulu” kata Erix, maklum sierix kan sudah punya cewek yang harus dijemput, Agustin begitulah biasanya dia menganalkan ceweknya pada kami, memang diantara kami yang sudah berstatus setengah nikah hanya Erix dan Boy, kalau John sendiri status cintanya sudah tidak jelas, sedangkan aku dan Cynes masih dalam tahap pencarian.Sebenarnya kalau membahas masalah cewek aku sendiri juga sudah punya gambaran dan incaran “Anna” dialah gadis impianku, tapi aku gak berani mengutarakan isi hatiku, sebab kurasa dia terlalu cantik untuk seorang lelaki yang sepertiku, meskipun aku merasa bahwa dialah surga yang disiapkan bagiku.

17.45 WIB
Teman segenkku sepakat untuk kembali ke rumah masing-masing, dan kembali berkumpul di Boegenvil park, pada jam 19.00. Terdengar sayup-sayup adzan mengiang di telinga tapi entah mengapa aku sering enggan menjawab panggilan suci dari tuhanku untuk melakukan sholat. Setibaku dirumah kutemukan rumah dalam keadaan kosong, aku hanya bertemu dengan Bi Imah yang sudah bermukena dan bersiap untuk menunaikan sholat dimusholla rumah, “bik! Dimana ibu?, ooh, ibu!, ibu sudah pergi ke masjid mas!. Oh, ya sudah kalau begitu, nanti kalau ibu tanya sama bibi apakah aku sudah kembali, bibi jawab saja tadi datang tapi sebentar. Setelah ku bercakap dengan bi Imah aku lang sung membersihkan diriku, sekitar 15 menit aku berkaraoke sendiri sabil menikmati guyuran air yang kusiramkan pada tubuhku, ah segar rasanya. Lima menit berselang aku sudah berada didepan cermin untuk menata rambutku dan merapikan pakaianku, kupilih t-shirt berwarna biru kupadukan dengan jins hitamku. Ku luncurkan mobilku menuju taman Boegenvil sesuai dengan janji yang telah kusepakati bersama genkku ”genkster”, seperti baiasa pasangan muda-mudi sudah banyak menghiasi Boegenvil, lebih-lebih kalau di akhir pekan seperti sekarang, how seru rame abis cooy.
Ku habiskan week endku dengan menegak beberapa minuman keras yang sudah disiapkan, hingga kumerasa dunia berputar tak karuan, bruk!!! Kurasakan tubuhku ambruk kebumi dan entah apa yang terjadi setelah itu.

Surabaya, Minggu 02-07-2006
Kurasakan sebuah sentuhan halus dikepalaku, rupanya ibu membelai rambutku sambil menangis tersedu ibu berkata.
“ Zian kau tidak apa-apa naak, ibu menghawatirkanmu”,
aku yang setengah sadar masih sulit membuka kelopak mataku yang seakan tertindih sebongkah batu, semenit kemudian kurasakan ibu kembalai berbisik ditelinga sambil terisak,
” Naak! Sampai kapan kau akan terus seperti ini, ibu sudah tak sanggup melihatmu terus-terusan begini, ibu harus bagaimana lagi”
“ Zian, sadarlah anakku, ibu ingin melihat engkau menjadi seorang laki-laki sukses yang bisa membahagiakan kedua orang tuamu didunia dan akhirat”
Setelah itu ibu pergi meninggalkanku yang masih terbujur kaku dikamar, entah kemana ibuku pergi, yang jelas mulai terdengar sayup-sayup lantunan bacaan Al-quran dari masjid kampungku. Akupun kembali mencoba membuka kelopak mataku dan kali ini berhasil, coba kuraih telpon genggam yang berada disampingku, kulihat delapan sms yang belum terbaca yang semuanya berasal dari teman genkku, kubuka satu-persatu mereka menanyakan kabarku, dan juga mengajakku untuk hang out ke Bandung. Entah mengapa hatiku tergerak untuk mengikuti mereka, tepat setelah adzan ashar aku pergi kerumah Cynes, setiba aku disana teman-temanku yang tergabung dalam genkster sudah bersiap, aku yang masih dalam keadaan kurang sehat mencoba untuk memaksakan diri, walau sebenarnya mereka menahanku untuk pergi, tapi aku memaksa, kami sepakat untuk berangkat besok pagi.

Bandung, Senin 03-07-2006

Setiba diBandung, kami langsung meluncur kerumah john yang berada tepat dipinggir masjid raya Bandung, kami langsung beristirahat dikamar yang telah dipersiapkan, hampir saja kelopak mataku tertutup,namun HPku berdering,kulihat sebuah panggilan dari nomor yang taka sing lagi bagiku, ibuku ya ibuku yang menelponku, tapi malas untuk menarimanya kumatikan saja, tapi semenit kemudian HPku kembali berdering kulihat lagi-lagi ibuku aku tambah jengkel saja, kumatikan kembali HPku dan kuambil baterainya, aku yakin ibu pasti akan bertanya padaku dimana aku, karena memang aku belum bilang kalau aku mau pergi ke Bandung, karena kalau bilang pasti tidak boleh, ah!!! Ngapain aku mengurusinya gumamku dalam hati lebih baik aku tidur saja. Tengah malam dikota Bandung terasa lebih dingin daripada Surabaya, kami mencoba menghangatkan tubuh dengan membakar jagung namun itu tidak terlalu berdampak positif bagi keadaan tubuh kami terlebih bagi tubuhku, yang memang dalam keadaan kuarng begitu fit, erix menyarankan ku untuk beristirahat.
Aku turuti permintaannya karena kujuga butuh untuk itu, setiba aku di kamar kuteringat kuteringat HPku kembali ku hidupkan HPku, tertera lima panggilan tidak terjawab yang empat dari ibuku dan satu lagi dari bi Ima, kulihat pual difolder SMS distu tertulis tiga SMS belum terbaca kulihat semuanya dari bibi, yang isinya sama semua, bibi bilang ibuku sakit, ya memang ibuku memiliki penyakit jantung akut, tapi aku tak pernah peduli akan semuanya.
Selasa pagi suasana kota Bandung begitu cerah, mentari yang tak sedikitpun bersembunyi dibalik awan memberikan kehangatan bagi seluruh alam, dreeet,dreeet, kurogoh kantong celanaku karena kurasa ada SMS masuk, benar bi Ima kembali memberiku kabar tentang keadaan ibu yang katanya sedang dalam kritis, sejenak aku tersentak, aku mulai merasakan suatu fiarasat yang kurang begitu nyaman, aku harus pulang, aku harus kembali ke Surabaya secepatnya,entah mengapa kali ini perasaanku galau, kacau. Setelah aku persiapakan barang-barang ku, aku bergegas menuju station bus kota Bandung, kubeli tiket jurusan Surabaya. Kuperkirakan pada jam 24.00 nanti sudah tiba dirumah, namun semua meleset dari perkiraanku jalanan macet.

Surabaya,05-07-2006

Sebuah nomor dalam kalender yang tak akan pernah kulupakan. Aku tiba didepan rumahku bersamaan dengan suara tarhim, tapi ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya, kenapa orang-orang berkumpul dirumahku? Tidak!!!!,tidak!!, aku berlari menuju kesebuah ruang yang sudah dipenuhi oleh tetanggaku, aku melihat ada seseorang yang terbujur kaku dalam balutan kain putih, aku tak mampu lagi berkata, aku tak mampu lagi tuk berdiri, aku tertunduk lesu, dia,dia ibuku, ibu yang selama ini telah kuanggap sebagai wanita paling over protective kini telah pergi meninggalkan aku, aku harus hidup sendiri karena ayahku sudah dua tahun lebih dulu meninggalakan aku dan ibuku, perih terasa menusuk relung hatiku paling dalam, mencabik keangkuhan yang selama ini aku banggakan, ingin rasanya aku menangis, tapi aku tak bisa, sebab deraian air mata takkan mampu membawa ibuku kembali.
Ibu aku berjanji kepadamu, takkan kubiarkan engkau menangis untuk kedua kalinya, aku berjanji akan menjadi seorang anak yang bisa membahagiakanmu walau engkau sudah tidak disini bersamaku, sesuai dengan keinginanmu waktu itu.